Oleh Nindi Fanswari
Sebab apakah kenangan tak pernah
benar-benar hilang?
Kali ini subuh datang lebih lambat,
bahkan ketika jarum jam menunjukkan pukul 05.30 langit masih terlalu gelap.
Dibandingkan dengan gemintang, pendar cahaya ratusan kendaraan lalu-lalang jauh
lebih berhasil menyilaukan mata. Hanya semangat maha kuat yang bisa
menggerakkan manusia-manusia menjejakkan kaki di jalan, sedang hawa dingin
seolah merajuk, menjilati kulit, meminta pelunasan untuk dihangatkan. Tapi tentu
waktu terus bergulir tanpa peduli gelap, tanpa peduli dingin, dan demi
menaklukkan waktu aku harus tenggelam di antara orang-orang berseragam, anak-anak
sekolahan, pedagang asongan, tukang jamu, pengangguran, berdiri di samping
halte Kalimalang. Memeluk lengan. Memeluk harapan.
Sebab apakah kenangan tak pernah
benar-benar hilang?
Aku sungguh tidak tahu, mungkin sama
tidak tahunya dengan semua orang yang ada di dalam bis, pun seorang ibu
setengah senja, yang tiba-tiba naik bis dari Halte Cipinang-Kebon Nanas. Kali
terakhir bertemu, ia mengenakan baju putih dan celana hitam, kali ini ibu itu
mengenakan kaos berwarna hijau belang hitam dan bercelana hitam bahan. Sudah
tiga kali kami bertemu, meskipun aku tahu ia pasti tidak menyadarinya, tapi aku
selalu mengenali suaranya. Sejauh ini aku hanya bisa meliriknya sekilas saja,
ada rasa takut sekaligus penasaran ingin melihat wajahnya, dan dari hasil
lirik-lirikan itu aku bisa melihat kacamata, mata yang bercahaya, rambut
panjang sepinggang dikuncir satu dan poni dijepit sempurna di kedua sisi telinganya.
Ramput panjangnya mengingatkanku
pada cerita mantan pacarku yang tergila-gila pada rambut panjang, dan baginya
sudah sewajibnya perempuan memiliki rambut panjang. “Rambut itu mahkota, Yank. Sudah sewajarnya kan kalau mahkota
itu dijaga, dirawat, diistimewakan, dibiarkan tumbuh panjang, ya kan?”. Sebulan
kemudian ia meninggalkanku dengan mata bengkak, ya aku memutuskan memotong
rambut, lalu ia berpindah ke wanita berambut panjang. Ah... lelaki. Mereka
bilang cantik bukan segalanya, yang penting berkepribadian baik, tapi tentu
saja kepribadian baik tidak pernah lengkap kalau belum cantik. Aku sendiri
tidak membenci lelaki, tapi bukan berarti menyukai pola pikir praktis mereka
yang menganggap semua hal sah-sah saja dilakukan meskipun imbasnya harus
menyakiti.
Aku memang belum mengenal ibu ini, bahkan
namanya pun aku tidak tahu, apalagi alamat rumahnya, apa yang ia cari, atau hal
apa yang terakhir kali ia ingat. Ini bisa jadi hanya perasaanku saja, namun
pertamakali semetro mini dengannya seperti ada sesuatu tak kasat mata yang
mengikat kami berdua. Ada gemuruh senang terasa di hati, saat kedua kali
bertemu, dan bahkan saat ini. Kalau seringnya tidak bertemu, anggap saja sedang
tidak beruntung. Sama seperti beberapa hari terakhir bertemu dengannya di metro
mini, saat ini pun ia masih membahas tentang ‘si bapak’. “Oh begitu ya bu?
Makanya bu, suami ibu dijaga, supaya jangan ngelirik perempuan lain.” suaranya
yang agak cempreng berhasil membunuh
keheningan seisi metro mini.
Kenek meminta ongkos padanya,
alih-alih mendapat uang, si kenek hanya mendapat ocehan-ocehan tak jelas dari
si ibu.”Ongkosnya empat ribu, Bu.” Kata si kenek katus. “Eh kurang dua ribu ya,
eh dua ribu ya.” Kata si ibu kikuk diulang-ulang. “Dasar orang gila.” Umpat si
Kenek meninggalkan si ibu dengan tangan kosong. Sudah tahu gila, kenapa masih
dimintai ongkos, dasar gila.
Si ibu kembali mengocehkan sesuatu
yang berhubungan dengan ingatan akan ‘si bapak’. Bagiku menjadi gila bukanlah pilihan,
tapi memutuskan menjadi gila adalah kemerdekaan. Merdeka dari aturan-aturan
hidup yang seringnya menyusahkan. Ia telah melepas dirinya dari keterikatan
aturan hidup dan memutuskan mengikat dirinya pada tali ingatan tentang ‘si
bapak’ yang telah lama manyakitinya.
Maka sebab apa kenangan tidak
benar-benar hilang, bisa jadi kenangan itu seumpama hantu yang selalu
menggentayangi kita. aku sendiri tidak benar-benar memahami cara kerja otak,
tapi kenangan atas ditinggal pacar lantaran hanya memotong rambut saja sungguh
tidak akan pernah terlupakan. Mungkin pertanyaan itu hanya Tuhan saja yang tahu
jawabannya.
Sekelumit pikiran membuatku lupa
bahwa nyatanya saat ini pagi belum genap pukul 6 tepat. Saat kenek berteriak Rawamangun,
si ibu bergeser ke arah pintu tengah, dan aku berdiri tepat di belakangnya,
menghadap pada ramput panjangnya yang dikuncir satu. Melewati lampu merah Utan Kayu - Rawamangun,
metro mini pun berhenti, suara decitan rem, mengigit telinga. Ia turun lebih
dahulu. Sesaat sebelum kami benar-benar berpisah, aku sempatkan diri untuk
menoleh kepadanya, ternyata ia kembali melanjutkan perjalanan ke arah Priok dengan
melangkahkan kaki meniti jalan, entah apa yang ia pikirkan, mungkin masih
seputar ‘si bapak’.
Dan bila nanti takdir mempertemukanku
dengannya, aku ingin sekali menyapanya.
Biodata
penulis
Nindi
Fanswari terkenal dengan julukan si tukang tidur, kecepatan tidurnya melebihi
orang normal, ia mengaku terkena gejala hypersomnia, kasih aja bantal dan dia
pasti langsung pindah alam, alam mimpi maksudnya. Ia menyenangi coklat, es
krim, dan sesuatu yang beraroma menyenagkan. Kehebatan penciumannya mirip
serigala, sayang film cantik-cantik srigala belum ada, kalau ada dia pasti jadi
salah satu nominasi kuat untuk jadi juru cahayanya. Ia berharap mendapat kritik
dan saran yang membangun dari pembaca.
Tidak ada komentar
Posting Komentar