Saya
tahu ini gak rasional, gak manusiawi, kekanak-kanakan, saya tahu, tapi saya gak
bisa mengekang pikiran saya untuk berhenti memikirkannya. Pikiran saya beranak
pinak seperti cecurut di gotgot yang sudah dibasmi tapi masih bisa beranak.
Pikiran saya berkembang, seperti perut-perut buncit para petinggi yang makan
dari uang selipan. Dari segala pikiran, saya berhenti pada sebuah kenapa.
Kenapa harus bertemu. Kenapa harus akrab. Kenapa harus jatuh cinta. kenapa
harus ... kamu.
Sedari
kecil, saya tidak punya banyak teman yang benar-benar akrab. Sebanyaknya tidak
pernah lebih dari angka 5. Jikalau saya pernah punya banyak teman, jalan
bareng, ngopi bareng, tidur bareng, tapi saya tidak akan benar-benar bisa akrab
dengan mereka. Hingga kamu, ya kamu dengan Ya Tuhan, seserhananya kamu,
mengunci hati saya.
Sesederhana
embun pagi yang selalu lenyap sebelum saya memuka mata. Sesederhana bunyi
jangkrik yang tak lagi terdengar di kota-kota besar seperti Jakarta. Sesederhana
senyum sapa yang tak lagi dilakukan orang-orang sepanjang jalan ke tempat
tujuannya. Sesederhana tundukkan kepala saat terlalu asyik menatap telpon
genggam yang menyedot seluruh konsentrasi orang. Sesederhana itulah kamu
ada. Sesederhana itulah kita bisa
bercanda. Sesederhana lima huruf paling menjengkelkan di dunia ... cinta.
Saya
punya kebiasaan kecil yang suka saya sembunyikan dan hanya akan benar-benar
saya lakukan pada seseorang yang saya sayangi. Saya senang mengigit, ya saya
sangat menikmati tiap inci gigi saya yang mendarat di kulit orang yang saya
sayangi, tapi hanya kepada kamulah gigitan saya mendarat berkalikali. Semua
orang yang saya kenal dan saya sayang bisa saya gigit sekali, tapi kepada
kamulah gigi saya mendarat dan berberkas di kulit kamu berkali-kali.
Kamu
bilang saya sinting. Lenganmu yang putih itu seketika memerah dan tertera jejak
rentetetan gigi saya di sana. Kamu mengelusnya dengan tangan yang satunya lagi,
dan saya tertawa. Saya bilang kepada kamu bahwa di dunia ini tidak ada hal yang
tidak menyakitkan, jadi terbiasalah. Kamu menyabitkan senyummu ke arah yang
tidak terlalu kusuka. Tapi kamu tetaplah kamu yang paling cantik, dengan bibir
basah dan merah, mata menatap manja dan jenaka, pipi putih dan sedikit bekas
jerawat di sana.
Kamu
mendiamkan saya. Tidak mengingatkan saya makan siang dan solat zuhur, bahkan
tidak bersedia mengangkat telpon saya. Padahal lidah saya sudah gatal sekali
ingin membahas BBM yang sudah turun tapi grafik tarif ongkos kendaraan umum
tidak ikut berbanding lurus. Di hari ketiga, hujan gerimis, BBM dari kamu masuk
dan bertanya kepada saya kalau saya sudah bisa hidup tanpa kamu. Tentu saja,
tentu saja tidak. Dari segala kata tidak. Tidak saya adalah tidak yang paling
tidak, dan bagi saya tidak ada istilah tidak yang artinya bukan tidak.
Kamu
mengenal saya bahkan lebih dari diri saya sendiri. kamu mengelap ujung bibir
saya yang ternoda jejak secangkir kopi, karena kamu tahu saya tidak akan
melakukannya dengan jari saya sendiri. Setiap siang kamu mengingatkan saya
untuk makan siang dan solat zuhur, karena kamu tahu saya selalu telambat makan,
lebih mementingkan pekerjaan. Setiap malam kamu meladeni setiap ocehan ngaur
saya tentang dunia, tentang negara, tentang politik, tentang gunung, tentang
samudra, dan saya selalu menanti suara kamu di seberang sana, tapi kamu Cuma
menanggapi sedikit, karena kamu tahu bahwa saya paling suka didengar bukan
mendengar.
Kini
sejuta jarum sedang bersekutu mengoyak jantung saya, hati saya. Saya ingin
teriak tapi saya takut dianggap gila. Tapi orang-orang tidak benar-benar tahu
bahwa saya memang sudah gila sekarang. Saya tahu ini gak rasional, gak
manusiawi, kekanak-kanakan, tapi saya gak bisa menyembuhkan kegilaan saya untuk
jadi waras kembali, atau memang sedari awal saya sudah gila. Menggilai kamu. Kegilaan
saya bercabang-cabang seperti akar pohon bringin, sudah ditebas masih
menjulur-julur. Kegilaan saya bertambah-tambah, seperti rekenging gendut para
koruptor dari hasil suap. Dari segala kegilaan, saya berhenti pada satu kenapa.
Kenapa kamu ... pergi.
Kamu
bilang kamu gak bakal kemana-mana, kamu ada di setiap tarikan nafas saya. Tapi
saya gak butuh udara, saya butuh jasad kamu terlihat mata saya, agar saya bisa
menikmati cahaya mata kamu, agar saya bisa merasakan debar jantung saya
meningkat setiap melihat kamu tertawa, agar saya bisa menyentuh bibir kamu yang
ternoda saus, agar saya bisa menghangatkanmu setelah kamu menangis tersedu,
agar saya bisa mengendus harum tubuhmu, agar saya bisa melucu dan kembali
mengigit kamu, agar saya dan Cuma saya yang akan jadi satu-satunya yang bertahta
di hati kamu. Mendengar ocehan saya kamu malah tertawa, dan kamu bilang ini
sudah malam, besok kamu mau ngajar. Jadi kamu matikan telpon dan meninggalkan
saya yang terpenjara kesepian.
Padahal
kamu lebih mengenal saya lebih dari saya sendiri. Kamu yang paling sabar
menahan sakit diremas tangan saya dan pura - pura tuli menahan kencangnya
teriakkan saya hanya karena satu jarum suntik menusuk urat nadi saya. Kamu akan
dengan suka rela menemani saya berbicara di jam-jam orang biasa sedang
bermimpi. Kamu akan selalu bilang iya setiap saya ingin berjumpa.
Saya
tidak pernah berhasil memejamkan mata. Mata saya selalu menyalak liar mencari
kamu disetiap sela, namun yang ada Cuma bayang-bayang. Cuma bayang-bayang wajah
kamu di langit-langit kamar, di gayung, di sendok, di tiap jendela metro mini,
di layar leptop, di tiap lembaran-lembaran kering buku yang saya baca.
Kamu
masih mengingatkan saya makan siang dan solat zuhur. Kamu tetap mendengar
ocehan saya tentang ingin keluar dari kungkungan aturan yang menyesakkan, ingin
berdiri dan membangun rumah di gunung merapi. Kamu hanya tertawa dan seketika
hati saya hampa. Saya lupa.... kamu telah melebur menjadi kepingan oksigen yang
melayang di setiap ruang, kamu telah mewujud udara di setiap helaan nafas saya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar